Celah-celah Kehidupan


BUYA H.FACHRUDDIN HS. DT.MAJO INDO
Majalah Harmonis Edisi Nomor 298 Tahun 1984

Dalam usia di ambang senja, H.Fachruddin Hs tidak menjadi loyo. Daya ingat masih tajam, suara tetap stabil dan pena masih saja gemar menari-nari. Tahun lalu beberapa naskah terbarunya telah diterbitkan di Jakarta dan tahun ini akan terbit lagi sejumlah naskah.
            Meskipun ia seorang ulama namun lebih populer dalam profil sebagai penulis. Sejak masa remaja ia gemar menulis dan sampai kinipun ketika usia telah mendekati 80 tahun, ia masih saja gemar menulis. “Buat saya menulis sudah merupakan kesenangan tersendiri” ucapnya ketika ditemui harmonis bulan lalu. “Kami pernah merasa cemas ketika mata bapak terasa buram dan masih juga tekun menulis” kata saya. ’’Ketika hampir tak dapat melihat apapun saya dibantu anak-anak menulis. Saya mendiktekan dan anak-anak mengetiknya dengan baik. Naskah-naskah yang kini diterbitkan di Jakarta itu semuanya ditulis dalam “masa guram”. Dan, syukur Alhamdulillah, kini mata saya jauh lebih baik. Saya sudah bisa lagi membaca dan menulis sendiri”.
            Tokoh berwajah damai dan seluruh rambut sudah memutih ini menceritakan bahwa dibawa kegemaran membaca dan sering membaca sambil terlentang di tempat tidur telh mengakibatkan matanya mengalami kerusakan. Maka sudah 50 tahun lebih ia memakai kacamata. Dua tahun lalu hampir semua tidak kelihatan. Matanya lantas dioperasi dan ternyata berhasil baik. Kii ia bukan saja dapat membaca dan menulis sendiri tetapi juga dapat bepergian sendiri.
            “Cuma anak-anak yang keberatan kalau saya bepergian sendiri sehingga salah seorang dari mereka selalu berusaha menemani”. “Bila anda gemar membaca, jangan dibiasakan membaca sambil telentang di tempat tidur” tambahnya. “Biasakanlah membaca sambil duduk dan dalam keadaan suasana terang, supaya mata tidak lekas rusak.”
            Pada masa remaja, nama Fachruddin Hs telah mengharum sebagai penulis tetap majalah “Panji Islam”. Ketika majalah yang diterbitkan dan dipimpin langsung oleh Z.A.Ahmad itu menetapkan sejumlah penulis tetapnya sebagai redaktur, Fachruddin Hs ditetapkan sebagai Redaktur Daerah Sumatra Barat. Redaktur-redaktur lainnya adalah Hasbi As-Shiddiqy buat Aceh, Mohammad Natsir untuk Jawa Barat, Asnawi Hadisiswoyo untuk Jawa Tengah, M.Choesnan Affandi untuk Jawa Timur dan Tjok untuk negeri Belanda.
             Pada masa itu pula ia tampil sebagai redaktur majalah “Shahih Buchari” Payakumbuh yang diterbitkan oleh Boekhandel, Imam Zakaria, bersama-sama H.Zainuddin Hamidy dan Djohar Arifin (keduanya sudah almarhum). Kemudian ia menyusun “Tafsir Quran Indonesia” bersama H. Zainuddin Hamidy yang semula diterbitkan juz demi juz. Sesudah penyerahan kedaulatan (1950) diterbitkan dalam keadaan lengkap oleh penerbit Wijaya Jakarta. Sampai kini, diantara sekian banyak tafsir lama dan baru, tafsir Al-Quran Indonesia susunan H. Zainuddin Hamidy-Fachruddin Hs masih menempati posisi tertinggi.
            Tafsir tersusun dalam bahasa Indonesia yang cukup bagus dan uraiannya tidak bertele-tele “Kalau kelak ada kesempatan, saya ingin menyempurnakan bahasa dan catatan kaki tafsir tersebut” ucapnya. Pada masa itu pula (1937-1942) H. Fachruddin Hs terpilih sebagai anggota Dewan Minangkabauraad bersama-sama DP Sati Salimin, Darwis St Majolelo, H.Siradjuddin Abbas dan lain-lain. Kedudukan ini menyebabkan pribadinya “tidak mengalami kesulitan banyak” bila tampil sebagai muballigh pada sebuah Tabligh Akbar atau sebagai “Speaker” pada sebuah Openbare Vergadering. PID yang biasanya hadir pada setiap pertemuan “agak segan” mengetok meja kalau Fachruddin Hs yang berbicara. Sebab ada saja kemungkinan : kalau meja diketok, yang berbicara tidak ketakutan tetapi malah bertanya: “fasal mana yang terlanggar oleh pidato saya ?”. Jika pertanyaan demikian diajukan, PID pasti nyengir sebab tidak dapat menjawab. Paling-paling mereka hanya bisa membalas “Demi wet, jangan banyak bertanya...!”
            Dalam hubungan ini, saya teringat ketika Mr. Mohammad Yamin berpidato di Payakumbuh pada tahun 1939 dan pidatonya mendapatkan ketokan PID. “kenapa diketok ?” PID tidak menjawab tetapi mengetok meja sekali lagi. “Jelaskan, fasal mana yang terlanggar? kata Yamin “Saya anggota Volksraad, tidak boleh diketok-ketok. Kalau ingin mengetok, harap dijelaskan KUHP yang terlanggar. kalau tidak tahu apa-apa jangan asal mengetok, sebab nanti kepalanya.....bisa kena ketok!”. Yamin berbicara bersemangat sehingga air ludahnya muncrat kian kemari. PID yang ketika itu berjumlah tiga orang, tidak seorangpun yang berkutik. Hadirin bertepuk dan suasana bertambah panas. Tetapi pertemuan jalan terus, dan karena tidak ada lagi ketokan, hadirin merasa puas.
            Fachruddin Hs. dilahirkan pada tanggal 5 Juni 1908 bertepatan dengan 5 Jumadil Akhir 1326, di desa Situjuh Batur, Payakumbuh Selatan, Sumatera Barat. Jadi, dihitung berdasarkan tahun masehi ia baru berusia 76 tahun tetapi jika dihitung berdasarkan tahun hijriyah sudah 78 tahun. Ia bersaudara kandung (kakak) dengan Makinoeddin Hs, Mayor TNI/Wedana Militer Payakumbuh Selatan selama Agresi Kedua (1948-1949). Dan para pembaca agaknya ingat, peristiwa Situjuh Batur yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1949, ketika puluhan pemimpin, perwira dan rakyat menjadi korban keganasan tentara Belanda, di desa yang pernah menjadi basis gerilyawan itu.
            Ketika ditanya riwayat pendidikannya, tokoh yang pernah aktif di gelanggang politik itu tertawa kecil. Setelah melap kacamata ia berucap : “Sebagai banyak teman pada masa itu saya cuma berhasil menamatkan “akademisu”. Dulu, hanya anak demang yang bisa melanjutkan ke MULO (setingkat SMP sekarang) dan AMS (setingkat SMA). Kebanyakan orang setelah menamatkan SD hanya mengaji ke surau kemudian...berbini”. “Boleh saya catat nama akademi yang bapak lalui ?” tanya saya. “Sudah saya katakan, saya cuma tamatan “akademisu” artinya “Akademi Surau”. Istilah ini hanya lazim terpakai di Sumatera Barat sebagai imbangan dari “Akademisi’. Setelah tamat dari SD (Sekolah Desa) 3 Tahun, melanjutkan ke Jongen Vervolgschool (Sekolah Gubernemen) 2 tahun, lalu pergi mengaji ke surau. Mula-mula ke Situjuh Bandar Dalam kemudian ke surau Batang Tabit. Tahun 1928 tamat kelas VII dan dianggap telah bisa mengajar”.
            Tamat dari “akademisu” di Batang Tabit itu, Fachruddin Hs. mendirikan perguruan Islam di Situjuh Batur. “Murid ketika itu cukup banyak tapi gaji tetap tidak ada”. Pada tahun 1930 ketika gerakan Sumathra Thawalib yang dipimpin Syekh Dr. Karim Amarullah dkk. berkembang pesat, ia mendirikan cabang Sumathra Thawalib di Payakumbuh. “Murid bertambah banyak dan karena ada sumbangan tetap para saudagar, saya mendapat honor rata-rata F.3,-- (baca 3 rupiah) sebulan. Ketika Sumathra Thawalib menjelma jadi PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia), Fachruddin Hs terpilih sebagai Ketua PERMI Cabang Payakumbuh.
            Secara resmi, Permi lahir pada tahun 1930 setelah mengadakan kongres pertama di Bukittinggi (22 sampai 27 Mei 1930). Pada tahun 1931 Permi menyatakan diri sebagai partai politik yang berkedudukan di Bukittinggi. Trio tokoh Permi yang populer saat itu adalah : Djalaluddin Thaib Dt. Penghulu Besar, Ilyas Jacob dan Muchtar Lutfhi. Mereka didampingi oleh sejumlah tenaga muda : HMD Dt.Palimo Kayo, Duski Samad, Rasuna Said, Ratna Sari N.E, H.Rasul Hamidy, H.Syu’eb El-Yutusi, Darwis Thaib dan lain-lain.
            Dengan asas “Islam dan Kebangsaan” dan tegas bertujuan : mencapai Indonesia Merdeka, kehadiran Permi mendapat sambutan hangat. Selain seluruh masyarakat Sumatera Barat, cabang-cabangnya berdiri di Tapanuli, Bengkulu, Palembang,dan di beberapa kota di Jawa Barat. Bung Karno yang ketika itu aktif dalam PNI menyatakan sangat bersimpati pada Permi. Tetapi pemerintah Belanda segera turun tangan. Pada tahun 1933, setelah sebelumnya dikenakan pembatasan hak bersidang, Permi tak dapat lagi meneruskan gerakan (bubar).
            “Pada umumnya orang-orang pergerakan di daerah Sumatera Barat juga berasal dari “akademisu”. Hal itu adalah disebabkan : Islam sangat membenci penjajahan dan menghasut penganutnya supaya berjuang merebut kemerdekaan”. Terhenti kegiatan politik, para aktifis Permi khususnya dan para ulama Sumatera Barat pada umumnya kembali menumpahkan kegiatan kepada bidang dakwah dan pendidikan. Sumatera Thawalib berjaya kembali menghidupkan sekolah-sekolah dalam bentuk yang lebih teratur.
            Fachruddin Hs kemudian aktif sebagai muballigh. Tetapi, ketika kegiatan politik terbuka pula ia tampil sebagai propagandasi PII (Partai Islam Indonesia) pimpinan Wibowo. Dan kegiatan ini, disamping menulis dalam berbagai surat kabar dan majalah Islam diteruskannya sampai Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia (1942).
            Pada masa pendudukan Jepang setelah Chatib Sulaiman Suska-Rasuna Said berhasil mendirikan Gyugun (Laskar Rakyat). Fachruddin Hs aktif dalam pembinaan Gyugun. Bersama H.Darwis Taram dan H.Rusli Abdul Wahid, ia mendirikan Badan Penyantun Gyugun di Payakumbuh. Setelah kemerdekaan, Fachruddin Hs diangkat menjadi kepala PPSB (Pejabat Penerangan Sumatera Barat) di Bukittinggi. Jabatan ini dipegangnya selama 3 tahun (1952-1955) disamping kegiatan sebagai anggota Pimpinan Masyumi Daerah Sumatera Barat. Ketika pemerintahan Sumatera Barat, Riau dan Jambi disatukan dalam Propinsi Sumatera Tengah dibawah pimpinan Gubernur Muda Dr.H.Djamil, Fachruddin Hs diangkat menjadi Kepala Kantor Penerangan Agama Sumatera Tengah. Kedudukan itu dipegangnya selama 5 tahun (1955-1960).
            Selama beberapa tahun, Fachruddin Hs menetap di Jakarta dan kembali aktif menulis. Ia berhasil menyiapkan beberapa jilid terjemahan “Shahih Muslim” kemudian menyusun “Iman dan Kehidupan’ dan “Percikan Sabda Rasul”. Dengan honorarium yang diperolehnya ia berhasil menunaikan ibadah haji bersama istrinya pada tahun 1962.
            Pidato Fachruddin Hs enak di dengar. Tetapi lebih enak lagi jika pengunjung tidak berapa banyak sebab suaranya tidak lantang. Bila memberikan ceramah di hadapan pengunjung terbatas sekitar 50 orang makin kentara pengetahuannya yang sangat luas. Ia menguasai penuh bahasa Arab, paham bahasa Inggris dan paham sedikit bahasa Belanda. Semua itu adalah hasil kerajinan membaca yang lantas menjadikan dirinya : ulama yang serasi dengan segala lapisan.
            Fachruddin Hs merasa bahagia karena di zaman lampau Sumatera Barat telah berhasil mencetak banyak ulama berbobot nasional, lalu ia menyebut nama-nama : Abdul Hamid Hakim Tuanku Mudo, Syainuddin Labai El Yunisi, Rahmat El Yusiah, Rasuna Said, Duski Samad, Dt.Palimo Kayo, A.R Sutan Mansyur, Hamka, Z.A Ahmad, K.H.M.Isa Ansyary dan lain-lain “Sayang sekali, dewasa ini hasrat masyarakat untuk menjadi ulama tampak menurun” ucapnya pelan. ‘Kenapa hal demikian terjadi ?”.
            “Besar kemungkinan, karena banyak anak muda dewasa ini belajar pada sebuah sekolah dengan tujuan mendapat pekerjaan sebab itu mereka berduyun-duyun ke sekolah negeri dan tidak punya perhatian lagi terhadap madrasah. Kehadiran ulama semakin  langka”. “Bukankah sekarang telah berdiri banyak IAIN ?”. “Hal itu kita syukuri. Tetapi sangat disayangkan alumni IAIN lebih banyak menguasai pengetahuan umum dan tidak mendalam di bidang pengetahuan agama. Mereka pintar ngomong Inggris, tetapi sangat mentah dalam bahasa Arab. Padahal, memahami bahasa Arab penting sekali jika orang hendak menyelami seluk-beluk agama sedalam-dalamnya”.
            “Bagaimana kalau didirikan  di Sumatera Barat sebuah perguruan tinggi Islam”. “Sudah terang bisa sebab fasilitas pemerintah daerah cukup, dan dana bisa di tanggulangi. Gedung yang bisa dipakai juga cukup banyak dan tenaga pendidik juga tersedia. Tetapi, dapatkah perguruan tinggi bertahan apabila murid-muridnya tidak ada?”. Fachruddin Hs bersyukur karena “Diniah Putri “ di Padang Panjang masih tetap bertahan, dan perguruan-perguruan Islam yang ada di Gontor dan Bangil bahkan tampak bertambah maju” Moga-moga masyarakat Sumatera Barat segera menginsyafi ketinggalannya dan dalam tempo singkat kembali bergairah menghidupkan sekolah seperti Sumathra Tawalib”.
            Tokoh yang pernah jadi anggota Majelis Konstituante dari unsur Masyumi ini sejak tahun 1975 telah di tetapkan sebagai perintis kemerdekaan. Fachruddin Hs di karuniai 12 anak. Semuanya sudah berkeluarga dan kini menetap di berbagai kota. Dintaranya ada yang seorang Insinyur yang kini mendirikan Sekolah Menengah Teknik di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dua Sarjana Hukum dan  dua bergelar Doktorandus. Dua orang jadi pegawai negeri dan yang paling bungsu masih kuliah di Universitas Indonesia. “Sayang sekali tidak ada yang berhasrat jadi ulama, meskipun ada yang berhasil menamatkan PGAA 6 Tahun” keluhnya. “Bapak merasa kecewa ?”. “Orang Islam tidak boleh merasa kecewa!”.
            Menikmati hari tuanya, tokoh yang memiliki nama lengkap H. Fachruddin Hs gelar Dt.Majo Indo itu, kini menetap kembali di desa Situjuah Batua. Gedungnya yang molek dan terawat rapi terletak tak jauh dari Mesjid Pahlawan Situjuah Batua dan Tugu Pahlawan yang di bangun tahun 1982.

Tidak ada komentar: