Celah-celah Kehidupan


BUYA H.FACHRUDDIN HS. DT.MAJO INDO
Majalah Harmonis Edisi Nomor 298 Tahun 1984

Dalam usia di ambang senja, H.Fachruddin Hs tidak menjadi loyo. Daya ingat masih tajam, suara tetap stabil dan pena masih saja gemar menari-nari. Tahun lalu beberapa naskah terbarunya telah diterbitkan di Jakarta dan tahun ini akan terbit lagi sejumlah naskah.
            Meskipun ia seorang ulama namun lebih populer dalam profil sebagai penulis. Sejak masa remaja ia gemar menulis dan sampai kinipun ketika usia telah mendekati 80 tahun, ia masih saja gemar menulis. “Buat saya menulis sudah merupakan kesenangan tersendiri” ucapnya ketika ditemui harmonis bulan lalu. “Kami pernah merasa cemas ketika mata bapak terasa buram dan masih juga tekun menulis” kata saya. ’’Ketika hampir tak dapat melihat apapun saya dibantu anak-anak menulis. Saya mendiktekan dan anak-anak mengetiknya dengan baik. Naskah-naskah yang kini diterbitkan di Jakarta itu semuanya ditulis dalam “masa guram”. Dan, syukur Alhamdulillah, kini mata saya jauh lebih baik. Saya sudah bisa lagi membaca dan menulis sendiri”.
            Tokoh berwajah damai dan seluruh rambut sudah memutih ini menceritakan bahwa dibawa kegemaran membaca dan sering membaca sambil terlentang di tempat tidur telh mengakibatkan matanya mengalami kerusakan. Maka sudah 50 tahun lebih ia memakai kacamata. Dua tahun lalu hampir semua tidak kelihatan. Matanya lantas dioperasi dan ternyata berhasil baik. Kii ia bukan saja dapat membaca dan menulis sendiri tetapi juga dapat bepergian sendiri.
            “Cuma anak-anak yang keberatan kalau saya bepergian sendiri sehingga salah seorang dari mereka selalu berusaha menemani”. “Bila anda gemar membaca, jangan dibiasakan membaca sambil telentang di tempat tidur” tambahnya. “Biasakanlah membaca sambil duduk dan dalam keadaan suasana terang, supaya mata tidak lekas rusak.”
            Pada masa remaja, nama Fachruddin Hs telah mengharum sebagai penulis tetap majalah “Panji Islam”. Ketika majalah yang diterbitkan dan dipimpin langsung oleh Z.A.Ahmad itu menetapkan sejumlah penulis tetapnya sebagai redaktur, Fachruddin Hs ditetapkan sebagai Redaktur Daerah Sumatra Barat. Redaktur-redaktur lainnya adalah Hasbi As-Shiddiqy buat Aceh, Mohammad Natsir untuk Jawa Barat, Asnawi Hadisiswoyo untuk Jawa Tengah, M.Choesnan Affandi untuk Jawa Timur dan Tjok untuk negeri Belanda.
             Pada masa itu pula ia tampil sebagai redaktur majalah “Shahih Buchari” Payakumbuh yang diterbitkan oleh Boekhandel, Imam Zakaria, bersama-sama H.Zainuddin Hamidy dan Djohar Arifin (keduanya sudah almarhum). Kemudian ia menyusun “Tafsir Quran Indonesia” bersama H. Zainuddin Hamidy yang semula diterbitkan juz demi juz. Sesudah penyerahan kedaulatan (1950) diterbitkan dalam keadaan lengkap oleh penerbit Wijaya Jakarta. Sampai kini, diantara sekian banyak tafsir lama dan baru, tafsir Al-Quran Indonesia susunan H. Zainuddin Hamidy-Fachruddin Hs masih menempati posisi tertinggi.
            Tafsir tersusun dalam bahasa Indonesia yang cukup bagus dan uraiannya tidak bertele-tele “Kalau kelak ada kesempatan, saya ingin menyempurnakan bahasa dan catatan kaki tafsir tersebut” ucapnya. Pada masa itu pula (1937-1942) H. Fachruddin Hs terpilih sebagai anggota Dewan Minangkabauraad bersama-sama DP Sati Salimin, Darwis St Majolelo, H.Siradjuddin Abbas dan lain-lain. Kedudukan ini menyebabkan pribadinya “tidak mengalami kesulitan banyak” bila tampil sebagai muballigh pada sebuah Tabligh Akbar atau sebagai “Speaker” pada sebuah Openbare Vergadering. PID yang biasanya hadir pada setiap pertemuan “agak segan” mengetok meja kalau Fachruddin Hs yang berbicara. Sebab ada saja kemungkinan : kalau meja diketok, yang berbicara tidak ketakutan tetapi malah bertanya: “fasal mana yang terlanggar oleh pidato saya ?”. Jika pertanyaan demikian diajukan, PID pasti nyengir sebab tidak dapat menjawab. Paling-paling mereka hanya bisa membalas “Demi wet, jangan banyak bertanya...!”
            Dalam hubungan ini, saya teringat ketika Mr. Mohammad Yamin berpidato di Payakumbuh pada tahun 1939 dan pidatonya mendapatkan ketokan PID. “kenapa diketok ?” PID tidak menjawab tetapi mengetok meja sekali lagi. “Jelaskan, fasal mana yang terlanggar? kata Yamin “Saya anggota Volksraad, tidak boleh diketok-ketok. Kalau ingin mengetok, harap dijelaskan KUHP yang terlanggar. kalau tidak tahu apa-apa jangan asal mengetok, sebab nanti kepalanya.....bisa kena ketok!”. Yamin berbicara bersemangat sehingga air ludahnya muncrat kian kemari. PID yang ketika itu berjumlah tiga orang, tidak seorangpun yang berkutik. Hadirin bertepuk dan suasana bertambah panas. Tetapi pertemuan jalan terus, dan karena tidak ada lagi ketokan, hadirin merasa puas.
            Fachruddin Hs. dilahirkan pada tanggal 5 Juni 1908 bertepatan dengan 5 Jumadil Akhir 1326, di desa Situjuh Batur, Payakumbuh Selatan, Sumatera Barat. Jadi, dihitung berdasarkan tahun masehi ia baru berusia 76 tahun tetapi jika dihitung berdasarkan tahun hijriyah sudah 78 tahun. Ia bersaudara kandung (kakak) dengan Makinoeddin Hs, Mayor TNI/Wedana Militer Payakumbuh Selatan selama Agresi Kedua (1948-1949). Dan para pembaca agaknya ingat, peristiwa Situjuh Batur yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1949, ketika puluhan pemimpin, perwira dan rakyat menjadi korban keganasan tentara Belanda, di desa yang pernah menjadi basis gerilyawan itu.
            Ketika ditanya riwayat pendidikannya, tokoh yang pernah aktif di gelanggang politik itu tertawa kecil. Setelah melap kacamata ia berucap : “Sebagai banyak teman pada masa itu saya cuma berhasil menamatkan “akademisu”. Dulu, hanya anak demang yang bisa melanjutkan ke MULO (setingkat SMP sekarang) dan AMS (setingkat SMA). Kebanyakan orang setelah menamatkan SD hanya mengaji ke surau kemudian...berbini”. “Boleh saya catat nama akademi yang bapak lalui ?” tanya saya. “Sudah saya katakan, saya cuma tamatan “akademisu” artinya “Akademi Surau”. Istilah ini hanya lazim terpakai di Sumatera Barat sebagai imbangan dari “Akademisi’. Setelah tamat dari SD (Sekolah Desa) 3 Tahun, melanjutkan ke Jongen Vervolgschool (Sekolah Gubernemen) 2 tahun, lalu pergi mengaji ke surau. Mula-mula ke Situjuh Bandar Dalam kemudian ke surau Batang Tabit. Tahun 1928 tamat kelas VII dan dianggap telah bisa mengajar”.
            Tamat dari “akademisu” di Batang Tabit itu, Fachruddin Hs. mendirikan perguruan Islam di Situjuh Batur. “Murid ketika itu cukup banyak tapi gaji tetap tidak ada”. Pada tahun 1930 ketika gerakan Sumathra Thawalib yang dipimpin Syekh Dr. Karim Amarullah dkk. berkembang pesat, ia mendirikan cabang Sumathra Thawalib di Payakumbuh. “Murid bertambah banyak dan karena ada sumbangan tetap para saudagar, saya mendapat honor rata-rata F.3,-- (baca 3 rupiah) sebulan. Ketika Sumathra Thawalib menjelma jadi PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia), Fachruddin Hs terpilih sebagai Ketua PERMI Cabang Payakumbuh.
            Secara resmi, Permi lahir pada tahun 1930 setelah mengadakan kongres pertama di Bukittinggi (22 sampai 27 Mei 1930). Pada tahun 1931 Permi menyatakan diri sebagai partai politik yang berkedudukan di Bukittinggi. Trio tokoh Permi yang populer saat itu adalah : Djalaluddin Thaib Dt. Penghulu Besar, Ilyas Jacob dan Muchtar Lutfhi. Mereka didampingi oleh sejumlah tenaga muda : HMD Dt.Palimo Kayo, Duski Samad, Rasuna Said, Ratna Sari N.E, H.Rasul Hamidy, H.Syu’eb El-Yutusi, Darwis Thaib dan lain-lain.
            Dengan asas “Islam dan Kebangsaan” dan tegas bertujuan : mencapai Indonesia Merdeka, kehadiran Permi mendapat sambutan hangat. Selain seluruh masyarakat Sumatera Barat, cabang-cabangnya berdiri di Tapanuli, Bengkulu, Palembang,dan di beberapa kota di Jawa Barat. Bung Karno yang ketika itu aktif dalam PNI menyatakan sangat bersimpati pada Permi. Tetapi pemerintah Belanda segera turun tangan. Pada tahun 1933, setelah sebelumnya dikenakan pembatasan hak bersidang, Permi tak dapat lagi meneruskan gerakan (bubar).
            “Pada umumnya orang-orang pergerakan di daerah Sumatera Barat juga berasal dari “akademisu”. Hal itu adalah disebabkan : Islam sangat membenci penjajahan dan menghasut penganutnya supaya berjuang merebut kemerdekaan”. Terhenti kegiatan politik, para aktifis Permi khususnya dan para ulama Sumatera Barat pada umumnya kembali menumpahkan kegiatan kepada bidang dakwah dan pendidikan. Sumatera Thawalib berjaya kembali menghidupkan sekolah-sekolah dalam bentuk yang lebih teratur.
            Fachruddin Hs kemudian aktif sebagai muballigh. Tetapi, ketika kegiatan politik terbuka pula ia tampil sebagai propagandasi PII (Partai Islam Indonesia) pimpinan Wibowo. Dan kegiatan ini, disamping menulis dalam berbagai surat kabar dan majalah Islam diteruskannya sampai Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia (1942).
            Pada masa pendudukan Jepang setelah Chatib Sulaiman Suska-Rasuna Said berhasil mendirikan Gyugun (Laskar Rakyat). Fachruddin Hs aktif dalam pembinaan Gyugun. Bersama H.Darwis Taram dan H.Rusli Abdul Wahid, ia mendirikan Badan Penyantun Gyugun di Payakumbuh. Setelah kemerdekaan, Fachruddin Hs diangkat menjadi kepala PPSB (Pejabat Penerangan Sumatera Barat) di Bukittinggi. Jabatan ini dipegangnya selama 3 tahun (1952-1955) disamping kegiatan sebagai anggota Pimpinan Masyumi Daerah Sumatera Barat. Ketika pemerintahan Sumatera Barat, Riau dan Jambi disatukan dalam Propinsi Sumatera Tengah dibawah pimpinan Gubernur Muda Dr.H.Djamil, Fachruddin Hs diangkat menjadi Kepala Kantor Penerangan Agama Sumatera Tengah. Kedudukan itu dipegangnya selama 5 tahun (1955-1960).
            Selama beberapa tahun, Fachruddin Hs menetap di Jakarta dan kembali aktif menulis. Ia berhasil menyiapkan beberapa jilid terjemahan “Shahih Muslim” kemudian menyusun “Iman dan Kehidupan’ dan “Percikan Sabda Rasul”. Dengan honorarium yang diperolehnya ia berhasil menunaikan ibadah haji bersama istrinya pada tahun 1962.
            Pidato Fachruddin Hs enak di dengar. Tetapi lebih enak lagi jika pengunjung tidak berapa banyak sebab suaranya tidak lantang. Bila memberikan ceramah di hadapan pengunjung terbatas sekitar 50 orang makin kentara pengetahuannya yang sangat luas. Ia menguasai penuh bahasa Arab, paham bahasa Inggris dan paham sedikit bahasa Belanda. Semua itu adalah hasil kerajinan membaca yang lantas menjadikan dirinya : ulama yang serasi dengan segala lapisan.
            Fachruddin Hs merasa bahagia karena di zaman lampau Sumatera Barat telah berhasil mencetak banyak ulama berbobot nasional, lalu ia menyebut nama-nama : Abdul Hamid Hakim Tuanku Mudo, Syainuddin Labai El Yunisi, Rahmat El Yusiah, Rasuna Said, Duski Samad, Dt.Palimo Kayo, A.R Sutan Mansyur, Hamka, Z.A Ahmad, K.H.M.Isa Ansyary dan lain-lain “Sayang sekali, dewasa ini hasrat masyarakat untuk menjadi ulama tampak menurun” ucapnya pelan. ‘Kenapa hal demikian terjadi ?”.
            “Besar kemungkinan, karena banyak anak muda dewasa ini belajar pada sebuah sekolah dengan tujuan mendapat pekerjaan sebab itu mereka berduyun-duyun ke sekolah negeri dan tidak punya perhatian lagi terhadap madrasah. Kehadiran ulama semakin  langka”. “Bukankah sekarang telah berdiri banyak IAIN ?”. “Hal itu kita syukuri. Tetapi sangat disayangkan alumni IAIN lebih banyak menguasai pengetahuan umum dan tidak mendalam di bidang pengetahuan agama. Mereka pintar ngomong Inggris, tetapi sangat mentah dalam bahasa Arab. Padahal, memahami bahasa Arab penting sekali jika orang hendak menyelami seluk-beluk agama sedalam-dalamnya”.
            “Bagaimana kalau didirikan  di Sumatera Barat sebuah perguruan tinggi Islam”. “Sudah terang bisa sebab fasilitas pemerintah daerah cukup, dan dana bisa di tanggulangi. Gedung yang bisa dipakai juga cukup banyak dan tenaga pendidik juga tersedia. Tetapi, dapatkah perguruan tinggi bertahan apabila murid-muridnya tidak ada?”. Fachruddin Hs bersyukur karena “Diniah Putri “ di Padang Panjang masih tetap bertahan, dan perguruan-perguruan Islam yang ada di Gontor dan Bangil bahkan tampak bertambah maju” Moga-moga masyarakat Sumatera Barat segera menginsyafi ketinggalannya dan dalam tempo singkat kembali bergairah menghidupkan sekolah seperti Sumathra Tawalib”.
            Tokoh yang pernah jadi anggota Majelis Konstituante dari unsur Masyumi ini sejak tahun 1975 telah di tetapkan sebagai perintis kemerdekaan. Fachruddin Hs di karuniai 12 anak. Semuanya sudah berkeluarga dan kini menetap di berbagai kota. Dintaranya ada yang seorang Insinyur yang kini mendirikan Sekolah Menengah Teknik di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dua Sarjana Hukum dan  dua bergelar Doktorandus. Dua orang jadi pegawai negeri dan yang paling bungsu masih kuliah di Universitas Indonesia. “Sayang sekali tidak ada yang berhasrat jadi ulama, meskipun ada yang berhasil menamatkan PGAA 6 Tahun” keluhnya. “Bapak merasa kecewa ?”. “Orang Islam tidak boleh merasa kecewa!”.
            Menikmati hari tuanya, tokoh yang memiliki nama lengkap H. Fachruddin Hs gelar Dt.Majo Indo itu, kini menetap kembali di desa Situjuah Batua. Gedungnya yang molek dan terawat rapi terletak tak jauh dari Mesjid Pahlawan Situjuah Batua dan Tugu Pahlawan yang di bangun tahun 1982.

Kepentingan Menggugat pada Badan Peradilan Administrasi

Oleh : Irfan Fachruddin

The position to make a law suit is the key to activate the system of administrative judicial, control over governmental actions and legal protection for the people. Judicial administrative system of Indonesia according to Law Number 5 Year 1986 does not include the meaning of "interest". In practice of judicial administration there are various applications which endanger the consistency of the law.
This article tries to integrate the perception of the meaning about "interest". By perceiving the concept and practice taken randomly, we discovered that there is a contradictory meaning, that is: tight standing, narrow understanding on making a law suit and actio popularis, anyone can bring a lawsuit to the court. In accordance with Indonesian requirement and culture, it seems that a restricted flexibility can be taken into consideration,but does not reach the stand of actio popularis, that is accepting (1) someone acting on behalf of another party in very restricted environment; (2) group and public interests; (3) restricted indirect interest; (4) immaterial interest.


A. Pendahuluan

Eksistensi badan peradilan administrasi ditujukan kepada dua arah. Pertama, untuk melaksanakan pengawasan aspek hukum (rechmatigheid controle) terhadap tindakan pemerintah, kedua, untuk memberikan perlindungan hukum (rechts-beschreming) bagi anggota masyarakat maupun pemerintah .
Masalah “kepentingan” adalah hal yang sangat krusial dalam praktek peradilan administrasi. Adanya “kepentingan” merupakan prasyarat untuk adanya “standing to the sue”, yaitu kedudukan minimal yang harus dipunyai sesorang atau badan hukum untuk mencapai kapasitas mengajukan “gugatan” ke badan peradilan administrasi.
Secara negasi dikatakan, tanpa adanya “kepentingan” tidak akan ada “gugatan”. Sesuai dengan adagium yang sangat populer : “no interest, no action” atau “point d’intret - piont d’action” atau geen processueel belang - geen rechtsingang (J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C.Tak ; 1987 : 70)
Stelsel pasif yang dianut peradilan menempatkan “gugatan” sebagai kunci starter atau pemicu bekerjanya pengawasan yudisial (judicial control) terhadap tindakan penguasa dan perlindungan hukum masyarakat terhadap sikap-tindak pemerintah. Tanpa adanya “gugatan” pengadilan tidak dapat melakukan pengujian terhadap tindakan pemerintah.
Indroharto mengemukakan bahwa pengertian “kepentingan” itu sendiri adalah samar-samar dan sulit dipegang. (Indroharto; 1993 : 37). Sedang William Fox menyatakan bahwa masalah “kepentingan” adalah masalah yang kontroversi dan sudah lama menjadi bahan diskusi yang tak kunjung usai. (William F. Fox; 1992 : 257).
Masalah “kepentingan” dalam konteks hukum administrasi jarang mendapat perhatian dari pakar-pakar hukum administrasi maupun para praktisi, baik melalui tulisan-tulisan maupun dalam diskusi-diskusi. Dalam literatur Indonesia penulis menemukan pembahasan yang agak mendalam dalam buku Indroharto yang berjudul Usaha Memahami Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang terbit pertama kali tahun 1991. Dilihat dari struktur pembahasannya sangat mirip dengan uraian J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C. Tak, dalam baku Hoofdlijnen van het Nederlans adminitratief procesrecht, yang terbit tahun 1987. Dalam konteks hukum perdata oleh Sudikno Mertokusumo dalam buku Hukum Acara Perdata Indonesia yang pertama kali terbit tahun 1977.
Dalam praktek peradilan administrasi pada umumnya terdapat dua sikap mengenai hal ini. Ada yang menafsirkannya terlalu sempit dan ada yang menginterpretasikannya terlalu longgar. Perbedaan persepsi dikalangan akademisi dan pemerhati tentu tidak akan menimbulkan masalah, tetapi berbedaan penerapan dikalangan hakim tentu kurang baik bagi kepastian hukum dan dapat menggoyahkan konsistensi putusan dalam lingkungan peradilan administrasi. Pada ujungnya membingungkan masyarakat pencari keadilan dalam upaya mereka mendapat perlindungan hukum dari tindakan Pemerintah. Demikian pula praktek semacam ini pada umumnya mendatangkan keragu-raguan bagi pihak Pemerintah, karena putusan-putusan peradilan administrasi khususnya berkenaan dengan “kepentingan” yang berubah-ubah tidak dapat dijadikan standar dan tolok ukur bagi sikap mereka di masa mendatang.
Mengingat dalam perkembangan hukum administrasi, banyak kaidah hukum yang lahir dari putusan-putusan badan peradilan (yurisprudensi). Pertumbuhan kaidah-kaidah tersebut dalam civil law system sekalipun dipandang sebagai indikator perkembangan hukum administrasi yang kemudian mendapat pengukuhan dari peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu konsistensi putusan-putusan badan peradilan adminstrasi penting untuk diupayakan. Pada tulisan singkat ini akan dicoba mengkaji kriteria kepentingan, pihak yang berkepentingan dan konsekuensi peralihan hak dalam teori dan praktek peradilan administrasi

B. Kerangka Konseptual

Akar dari perlindungan hukum bagi masyarakat adalah konsep “perlindungan terhadap hak asasi manusia”. Antara “perlindungan terhadap hak asasi manusia” dan “prinsip negara hukum” berjalin berkelindan, unsur antara yang satu dan yang lain saling memasuki. Unsur dari konsep negara hukum klasik menurut F.J. Stahl antara lain harus ada pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, kekuasaan pemerintahan berdasarkan atas undang-undang, dan pengadilan administrasi sebagai sarana penyelesai apabila pemerintah melanggar hak-hak dasar manusia. Sedang perlindungan hukum memerlukan prinsip legalitas dan “peradilan administrasi” untuk menjamin perlindungan hak-hak dasar manusia. (Padmo Wahjono; 1989 : 151).
Untuk memperoleh perlindungan hukum melalui pengadilan administrasi seseorang atau badan hukum harus mempunyai “kepentingan” (belang) atau kedudukan untuk menggugat (standing to the sue). Kata “kepentingan” dalam hukum positif tercantum dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi (selanjutnya disebut UPA). Pertama, dalam Pasal 53 ayat (1) UPA, dinyatakan : “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang...”. Kedua, dalam Pasal 83 ayat (1) UPA, dinyatakan : “...seorang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperksa oleh pengadilan...”. Tidak ada penjelasan mengenai pengertian “kepentingan” dalam UPA. Untuk menemukan pengertian dasar dari “kepentingan” ada baiknya ditinjau perkembangan yurisprudensi negara lain dan doktrin yang pernah disampaikan oleh para pakar hukum administrasi, tanpa membedakan dari sistem hukum mana pengertian itu berasal. Pengertian “belang” dalam terminologi hukum acara administrasi dikemukakan oleh Ten Berge & Tak adalah menunjuk kepada : “de waarde die beschremd moeten warden en inzet vormt van het proces (het rechtens te beschrement belang)” (nilai yang harus dilindungi dan membentuk isi proses [kepentingan yang harus dilindungi secara hukum]) dan dalam arti procesbelang, yaitu tujuan yang hendak dicapai dengan proses. (J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C. Tak, 1987 : 65). William Fox mengutip masalah dalam diskusi pengadilan pada kasus Joint Anti-Fascist Refugee Committee v. Mc Grath : “...whether the plaintiffs had a ‘legal interest’ or ‘a legally protected right’ in the despute” (William F. Fox, Jr. ; 1992 : 257).
Kalau dicermati istilah “standing” dan “interest”, akan terlihat bahwa meskipun tidak identik kedua kata itu memuat kandungan nilai atau hak yang mendapat perlindungan hukum sebagai syarat esensial untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
Dalam perkembangannya terdapat dinamika pasang surut antara dua regim yaitu actio popularis dan tight standing secara bergantian. Dapat digambarkan dalam dua ujung pada satu garis secara dikotomis yang tepat diantara keduanya terdapat posisi 0 (zero). Actio popularis, diartikan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan. Semua subjek hukum berkepentingan dengan pelaksanaan wewenang pemerintah yang sesuai dengan hukum. Tight standing, diartikan hak mengajukan gugatan hanya diberikan kepada pihak yang dialamatkan oleh suatu keputusan administrasi, yang ditujukan untuk menjaga ketepatan dan kepastian hukum. (Van Wijk, H.D.; 1995 : 715).

C. Kriteria Kepentingan

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kepentingan dalam hukum acara administrasi mengandung dua arti. Pertama; kepentingan sebagai nilai atau kualitas yang mendapat perlindungan dari hukum. Kedua; kepentingan sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh proses.

1. Nilai yang Dilindungi Hukum

Kepentingan sebagai nilai yang harus dilindungi secara hukum adalah suatu nilai yang mendapat pengaruh atau dinilai secara layak dapat diperkirakan menguntungkan atau merugikan yang timbul akibat dikeluarkan suatu keputusan tata usaha negara atau ditolaknya penerbitan suatu keputusan tata usaha negara.
Pada nilai yang harus dilindungi secara hukum dijumpai adanya hubungan antara subjek hukum pada satu sisi dengan keputusan administrasi pada sisi lain. Konkritnya ditentukan oleh faktor yang berhubungan dengan subjek hukum itu sendiri dan pada sisi lain oleh faktor yang berhubungan dengan keputusan administrasi. (Van Wijk, H.D.; 1995 : 66).
Untuk menentukan adanya nilai yang harus dilindungi oleh hukum dari aspek subjek hukum, ada empat hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

a. Kepentingan Sendiri

Yurisprudensi di Netherlands pada mulanya berpendapat bahwa subjek hukum dikatakan mempunyai kepentingan apabila memiliki kepentingan sendiri. Kepentingan sendiri adalah lawan dari kepentingan orang lain. Pada dasarnya suatu subjek hukum tidak dapat atas nama sendiri turut campur dengan kepentingan pihak lain. Jika bertindak untuk dan atas nama orang lain harus dilandasi oleh suatu persetujuan pemberian kuasa. Tidak dapat dianggap sebagai yang berkepentingan apabila seseorang bertindak sebagai anggota suatu kolompok. Karena yang berkepentingan sesungguhnya adalah kolompok secara kolektif dan kelompok inilah yang mempunyai kepentingan untuk menggugat. (Van Wijk, H.D.; 1995 : 66).
Selain itu terdapat juga perkembangan lain, yaitu dalam beberapa kasus oleh pengadilan diterima juga seseorang bertindak untuk diri sendiri atas kepentingan orang yang sangat dekat. Dalam kasus Singleton vs. Wulff tahun 1976, seorang ahli kandungan diperkenankan menggunakan hak gugat untuk seorang ibu (pasiennya) dan pada kasus Eisenstad vs. Baird tahun 1972 pengadilan membolehkan dokter bertindak untuk kepentingan pasiennya. (William F. Fox, Jr. ; 1992 : 267).

b. Kepentingan Individual

Menurut Van Buuren, subjek dipandang mempunyai kepentingan jika memiliki kepentingan yang bersifat individual khusus. Pengertian kepentingan individu khusus adalah lawan dari kepentingan massa tak berbentuk. (P.J.J. van Buuren; 1978 : 86-87).
Untuk perorangan (natuurlijke persoon) dan badan hukum perdata (rechts persoon) kepentingannya ditentukan oleh keadaan khusus subjek yang ditimbulkan oleh suatu tindakan pemerintah. Penutupan suatu ruas jalan umum atau penetapan suatu jalan umum dari dua arah menjadi satu arah tidak serta merta menjadikan orang yang tinggal disebelah jalan itu menjadi berkepentingan. Namun apabila ketetapan tersebut mendatangkan pengaruh yang merugikan, maka subjek yang terkena dapat menjadi berkepentingan.
Pada sisi lain saat ini tidak hanya kepentingan individu yang diterima untuk mendapatkan perlindungan hukum, kepentingan kelompok dan kepentingan umum semakin diterima sebagai dasar kepentingan menggugat. Jika seorang pejabat menggunakan keputusan yang diterbitkan dengan cara yang tidak sesuai hukum sebagai syarat untuk menduduki jabatan itu, kelompok masyarakat (organisasi non-pemerintah) pemerhati tidak boleh tidak punya kepentingan untuk mempersoalkannya.

c. Kepentingan Langsung

Kepentingan langsung artinya yang terkena secara langsung adalah subjek itu sendiri, bukan diperolehnya dari pihak lain. Misalnya pencabutan subsidi terhadap suatu badan hukum (debitur) tidak menyebabkan kreditur menjadi berkepentingan langsung dengan tindakan Pemerintah. Walaupun sebenarnya secara tidak langsung dapat menurunkan kemampuan debitur dalam pengembalian hutang-hutangnya. Pelanggan restoran tidak menjadi berkepentingan apabila pemerintah menutup restoran itu, walaupun pelanggan dirugikan dengan hilangnya suasana yang telah lama mereka nikmati. (J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C. Tak, 1987 : 67).
Sudikno Mertokusumo mengemukakan dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, bahwa seorang kakak tidak punya kepentingan menagih piutang adiknya yang macet. (Sudikno Mertokusumo; 1988 : 33).
Dalam perkembangannya, “kepentingan tidak langsung” perlahan-lahan dapat juga diterima sebagai kepentingan untuk menggugat. Namun “kepentingan tidak langsung” ini harus dibatasi pada hukum kausalitas yang terbatas, yaitu akibat yang dengan gamblang dapat ditentukan.

d. Kepentingan Objektif Tertentu

Kepentingan dan kerugian yang ditimbulkan harus dapat ditentukan secara objektif. Kepentingan yang tidak dapat ditentukan luas dan intensitasnya tidak cukup untuk dinyatakan berkepentingan. (J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C. Tak, 1987 : 68).
Supreme Court Amerika Serikat dalam kasus Association of Data Processing Service Organizations v. Comp dan kasus Barlow v. Collins keduanya diputus tahun 1970 menentukan bahwa adanya hak menggugat ditentukan kalau dipenuhi dua syarat, yaitu : (1) Terdapat fakta yang merugikan penggugat secara ekonomi; dan (2). Kepentingan penggugat dilindungi atau diatur oleh ketentuan undang-undang atau konstitusi. (Ernest Gollhorn; 1972 : 253).
Kalau dilihat substansinya, kepentingan dapat beragam sifatnya, bisa bersifat material maupum immaterial, bisa bersifat individual dan kolektif. Kepentingan material lebih mudah ditentukan luas dan intensitasnya dari pada kepentingan immaterial. Cukup beralasan pertimbangan Supreme Court dalam putusan kedua perkara tersebut.

e. Analisis

Uraian diatas memperlihatkan adanya pendapat yang berfariasi tentang luasnya kepentingan. Adanya kaidah yang cenderung kepada tight standing, terlihat dari : (1) larangan seseorang bertindak atas nama sendiri untuk kepentingan pihak lain tanpa adanya persetujuan pemberian kuasa dari orang yang bersangkutan; (2) subjek mempunyai kepentingan yang bersifat individual khusus; (3) adanya kepentingan langsung dari subjek itu sendiri, bukan diperolehnya dari pihak lain; (4) adanya kerugian secara ekonomi dan dilindungi atau diatur oleh ketentuan undang-undang atau konstitusi.
Ada pendirian yang lebih longgar, yaitu (1) diterimanya seseorang bertindak untuk orang lain yang mempunyai hubungan atau dalam lingkungan yang sangat dekat. (William F. Fox, Jr.; 1992 : 267). (2) diterima kepentingan kelompok dan kepentingan umum; (3) diterimanya kepentingan tidak langsung secara terbatas; (4) diakuinya kepentingan bersifat immaterial.
Diterimanya suatu subjek hukum bertindak atas nama sendiri untuk kepentingan orang yang sangat dekat sesuai dengan semangat kolektif dan kebutuhan masyarakat timur, terutama masyarakat adat. Dipandang dari aspek perlindungan terhadap golongan masyarakat yang lebih lemah, konstruksi semacam itu dapat mengalihkan resiko yang mungkin timbul dari subjek yang diselenggarakan kepentingannya kepada penyelenggara kepentingan, karena secara langsung antara sang pengurus dan yang diurus tidak terdapat kesepakatan apa-apa.
Tidak hanya kepentingan individu yang perlu mendapat perlindungan, tetapi kepentingan kelompok juga urgen mendapat perlindungan. Ada suatu tindakan yang membahayakan masyarakat dan lingkungan dimasa mendatang. Namun untuk saat ini belum dirasakan akibatnya dan ada kepentingan individu yang terlanggar. Kelompok masyarakat yang consern terhadap bidang-bidang tertentu sangat dibutuhkan kehadirannya dan patut untuk diterima sebagai pihak yang berkepentingan. .
Mengambil kepentingan hanya dari kepentingan langsung dirasakan terlalu sempit. Adakalanya yang menanggung secara riil perbuatan pemerintah justru pihak yang berkepentingan tidak langsung. Hal ini tidaklah berlebihan karena diterimanya kepentingan tidak langsung secara terbatas, dengan menggunakan prinsip kausalitas yang dapat diperhitungkan dengan gamblang akibat yang pasti akan terjadi.
Kepentingan immaterial juga termasuk kepentingan yang perlu mendapat perlindungan secara hukum dalam proses hukum administrasi. Bagi beberapa suku di daerah Indonesia kerugian moral atau kehormatan diri dan keluarga bisa dipandang lebih berat ketimbang kerugian material. Kepentingan non-material mendapat penekanan dari van Buuren, perlunya pengakuan dan penerimaan secara umum. Mengingat penderitaan tidak hanya datang disebabkan kerugian material semata. Dalam bidang kepegawaian dapat dilihat misalnya, rusaknya reputasi, hilangnya peluang promosi, dan mutasi ketempat yang lebih rendah adalah merupakan kepentingan yang cukup esensial.
Sudah sepantasnya kepentingan non-material dipandang sebagai kepentingan. Jika tidak demikian maka mekanisme perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan pemerintah dan pengawasan yudisial terhadap sikap-tindak pemerintah tidak dapat bekerja secara lebih baik.
Adanya keharusan suatu kepentingan diatur atau dilindungi oleh undang-undang atau konstitusi adalah baik, namun tidak dapat dibatasi sampai disitu. Mengingat di negeri kita dikenal hukum adat yang tidak tertulis, walapun demikian kaidah hukum tidak tertulis tersebut hidup dan dipertahankan hingga statusnya menjadi hukum kebiasaan yang tidak kurang kekuatan berlakunya dibandingkan dengan undang-undang. Selain itu asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak (auppl) dan semacamnya menunjukkan gejala diterima disetiap negara-negara demokrasi di dunia.
Agaknya perumusan yang digunakan dalam Pasal 53 ayat (1) UPA terasa agak mengganjal, karena dapat ditafsirkan bahwa kepentingan itu sudah ada apabila subjek sudah merasa kepentingannya dirugikan. Padahal maksudnya adalah kepentingan yang bersifat objektif, tidak hanya hidup dalam perasaan yang bersangkutan sendiri (perasaan subjektif) tatapi diakui oleh rasa keadilan hukum secara keseluruhan.
Apabila dikaitkan dengan objek persengketaan pada badan peradilan administrasi yaitu tindakan hukum publik (publiekrechtelijk rechthadelingen) badan atau pejabat pemerintah dan dalam pengujian yudisial terhadap tindakan tersebut tunduk kepada prinsip erga omnes, putusan tidak hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa tetapi mengikat umum. (Marbun, S.F. ; 1997).
Menurut hemat penulis dalam garis dikotimi, posisi pendirian ini terletak pada garis 0 (zero), antara tigh standing dan actio popularis. Walaupun terasa longgar namun tidak sampai kepada pendirian yang tergolong actio popularis.

2. Kepentingan Proses

Kepentingan proses adalah tujuan yang hendak dicapai dengan gugatan dengan kata lain maksud diselenggarakannya proses oleh pengambil inisiatif perkara. Setiap proses atau digagasnya suatu perkara melalui gugatan tentu ada maksudnya. Hakikat dari kepentingan proses adalah menghindarkan pejabat dari gangguan dan pengeluaran tenaga dan biaya yang tidak perlu, dengan tetap memperhatikan kepentingan pihak lawan perkara. Proses yang tanpa maksud adalah tidak sesuai dengan akal sehat, ini sesuai dengan adagium “point d’intret - piont d’action”. (J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C. Tak, 1987 : 71).
Mengajukan keberatan terhadap hanya pertimbangan (bukan terhadap diktum) yang menjadi dasar keputusan tidak dapat dikatakan adanya kepentingan proses. Maksud yang hendak dicapai tidak jelas. Dikenal istilah “kepentingan hukum”, tetapi kepentingan hukum harus terkait juga dengan tujuan yang hendak dicapai dengan proses. Hal ini masih perlu diperdebatkan.



3. Kerugian Kecil


Ten Berge & Tak mempertanyakan masalah kerugian yang sangat kecil sebagai dasar kepentingan. Apabila berpegang kepada adagium “de minimis non curat praetor” kerugian yang sangat kecil tidak dapat dipandang sebagai dasar kepentingan. Pendapat ini disetujui oleh Indroharto sebagaimana ditulis dalam bukunya : “kalau keputusan tata usaha negara itu hanya mengakibatkan kerugian yang sangat kecil ... Saya rasa gugatan yang demikian itu patut dinyatakan kurang berdasar”. (Indroharto; 1993 : 40 – 41). Agaknya Ten Berge & Tak tidak begitu menyetujui pandangan ini, alasannya sebagaimana dikatakan : ..., omdat niet allen matriele maar ook immateriele belangen van betekenis zijn voor de ontvankelijkheidsvraag...”. (J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C. Tak; 1987 : 73).
Tidak hanya kepentingan materi yang bermain tetapi juga kepentingan immateril. Sebagai salah satu bangsa dengan budaya Timur tidak segala sesuatunya dapat diukur dengan materil, tetapi banyak nilai lain yang patut dijunjung tinggi.



D. Tindakan Pemerintah dan Kepentingan


Persoalan yang perlu untuk dijawab adalah : “pihak manakah yang berkepentingan apabila dihubungkan dengan suatu tindakan pemerintah?”. Untuk menjawab permasalahan ini, terdapat beberapa konsep dalam khasanah hukum administrasi. Dipandang dari terminilogi, ada baiknya disimak artikel 1.2 nummer 1 Netherlands Algemene Wet bestuursrecht (AWb) : “onder belanghebbende wordt verstaan: degene wiens belang rechtstreeks bij een besluit is betrokken” (yang dimaksud dengan mereka yang berkepentingan: adalah mereka yang berkepentingan secara langsung terkait dengan suatu keputusan).
Namun tidak ada penjelasan siapa yang dimaksud dengan yang berkepentingan secara langsung terkait dengan suatu keputusan. Van Wijk & Konijnenbelt mengemukakan : (1) pihak yang dialamatkan oleh keputusan atau tindakan, (2) pihak ketiga yang berkepentingan, (3) lembaga pemerintahan yang ditunjuk, dan (4) semua orang. (Van Wijk, H.D.; 1995 : 714).

1. Actio Popularis

Asas legalitas menghendaki pemerintah dalam melaksanakan wewenangnya harus berdasarkan dan dengan prosedur yang ditetapkan hukum objektif. Pemerintah mempunyai fungsi menyelenggarakan kepentingan publik. Penyimpangan terhadap ketentuan hukum adalah tidak dapat dibenarkan. Pada prinsipnya semua subjek hukum berhak bahkan berkewajiban atas penataannya. Konsekuensinya setiap orang punya hak gugat atas suatu tindakan pemerintah.
Jika setiap orang dapat mengajukan gugatan dapat dibayangkan pengadilan akan kebanjiran gugatan. Untuk mencegah setiap orang mengajukan gugatan maka dibuat batasan bahwa hanya mereka yang berkepentingan yang cukup dan layak saja yang dapat mengajukan gugatan. (Sudikno Mertokusumo; 1988 : 33).
Atas pertimbangan kepastian hukum dan ketertiban, doktrin actio popularis ini beresiko untuk dilaksanakan. Oleh karena itu di banyak negara hak untuk menggugat dibatasi, hanya diberikan kepada pihak yang berkepentingan.


2. Pihak yang Dialamatkan


Yang dipandang berkepentingan utama adalah pihak yang dialamatkan, atau pihak yang dituju oleh suatu tindakan atau keputusan pemerintah. Dicontohkan mereka antara lain pemegang izin atau mereka yang ditolak permohonan izinnya, keputusan pembayaran tunjangan atau penolakan permohonan mendapatkan tunjangan. Tidak sulit menentukan siapa pihak yang dituju oleh suatu keputusan pemerintah.



3. Pihak Ketiga yang Berkepentingan


Sudah pasti yang pertama terkena akibat dari suatu keputusan adalah pihak yang dituju oleh suatu keputusan pemerintah. Namun sangat potensial pihak lain yang tidak dituju oleh keputusan dapat langsung terkena akibatnya. Dalam perkembangannya selain dari pihak yang dituju hak menggugat diberikan juga kepada pihak ketiga yang berkepentingan. Seseorang potensial terkena akibat langsung dari izin tempat usaha pakan ternak yang diberikan pemerintah kepada perusahaan tetangganya.
Kontroversi mengenai ruang lingkup pihak ketiga yang berkepentingan cukup banyak ditemukan. Agaknya perlu disimak sebagai bahan pembanding kemana hukum kita hendak dikembangkan.


a. Individu


Dalam hukum administrasi pajak Belanda, orang lain yang bukan wajib pajak yang ikut menanggung pajak tidak mempunyai hak gugat karena tidak tergolong pihak ketiga yang berkepentingan. Orang atau badan dipandang berkepentingan kalau bagian dari beban pajaknya ditentukan. Dilihat dari aspek akibat yang ditimbulkan, sangat patut pabean mengirimkan tagihan kepada penanggung agar yang bersangkutan melunasi beban bea. Demikian pula pasangan (suami/isteri) dari wajib pajak pendapatan yang senyatanya ikut menanggung suatu beban pajak dipandang sebagai pihak yang berkepentingan.
Dalam lingkungan hukum jaminan sosial Centrale Raad van Beroep menafsirkan pihak yang berkepentingan adalah pihak yang dialamatkan oleh keputusan. Pegawai dari suatu perusahaan dipandang tidak mempunyai kepentingan terhadap ketetapan otoritas yang menyatakan pegawai tidak diasuransikan, karena keputusan yang dipersoalkan tidak ada hubungannya dengan tanggungjawab pegawai. Akan tetapi mengenai pembayaran pegawai itu sendiri yang berkepentingan sedang perusahaan tidak terlibat.
Dalam hukum kepegawaian hak menggugat atas suatu keputusan pengangkatan untuk suatu jabatan hanya diberikan kepada pihak yang dituju. Secara formal pegawai hanya dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan pengangkatan dirinya, dan tidak dapat terhadap pengangkatan orang lain. Namun demikian pengangkatan seorang rekan dalam jabatan tertentu dapat dianggap sebagai penolakan untuk mengangkat pihak ketiga. Tidak dapat disangkal bahwa penolakan mengangkat dalam suatu jabatan menyentuh kepentingan pemohon. (Van Wijk, H.D.; 1995 : 716-717).
Menurut hemat penulis, sepatutnya pihak penanggung pajak tertentu bagiannya atau bukan, dan suami/isteri dari wajib pajak adalah termasuk pihak berkepentingan. Pegawai dari suatu perusahaan yang dinyatakan oleh pemerintah bahwa karyawan tidak diasuransikan adalah berkepentingan terhadap pernyataan itu. Pegawai tidak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan pengangkatan dirinya, tetapi dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkatan orang lain sesama nominator, karena pengangkatan seorang rekan dalam jabatan tertentu dapat dipandang sebagai penolakan untuk mengangkat pihak ketiga.



b. Kelompok Masyarakat Non Pemerintah


Kelompok masyarakat yang memperhatikan dan memperjuangkan suatu tujuan tertentu sudah umum diterima sebagai pihak yang berkepentingan. Kelompok ini adalah sekumpulan anggota masyarakat yang tergabung dalam suatu organisasi yang dibentuk untuk tujuan tertentu dan berbentuk badan hukum. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kepentingan yang menjadi tujuan dan perhatian mereka, mereka diakui memiliki kepentingan. Tujuan mereka biasanya ditetapkan dalam suatu statuta atau anggaran dasar organisasi. (J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C. Tak; 1987 : 67).
Ketentuan semacam ini terdapat juga dalam artikel 1:2 nummer 3 Awb : “Ten aanzien van rechtspersonen worden als hun belangen mede beschouwd de algemene en collectieve belangen die zij krachtens hun doelstellingen en blijkens hun feitelijke werkzaamheden in het bijzonder behartingen”. (Terhadap badan-badan hukum dianggap juga sebagai kepentingannya adalah kepentingan-kepentingan umum dan kepentingan kolektif yang menjadi tujuan utamanya dan secara nyata diupayakan pemenuhannya).
Di Indonesia keberadaan mereka telah diakui oleh peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi dapat mewakili kepentingan tertentu. Hal ini tercantum pada Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 46 ayat (1) c Undang-Undang 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pada pokoknya harus dipenuhi syarat : (1) berbentuk badan hukum; (2) dalam anggaran dasar organisasi disebutkan dengan tegas tujuannya; dan (3) telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Gugatan kelompok menurut undang-undang diatas dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok menggunakan konstruksi kuasa dan termasuk dalam kategori perwakilan. Sedangkan gugatan class action dapat mengandung dua konstruksi, pertama perwakilan untuk kepentingan selompok orang yang diwakili, dengan kontruksi perwakilan (walaupun tanpa surat kuasa khusus) dan kedua untuk kepentingan kelompok itu sendiri, dengan konstruksi berkepentingan sendiri atas dasar tujuan kelompok.



c. Lembaga Pemerintahan


Lembaga-lembaga pemerintahan sudah sepantasnya dianggap berkepentingan mengenai hal yang dipercayakan menjadi tugas mereka melalui atribusi dan delegasi. (J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C. Tak; 1987 : 67).
Ini juga diatur dalam Artikel 1:2 AWb angka 2 : “Ten aanzien van bestuursorganen worden de hun toevertrouwde belangen als hun belangen beschouwd”. (terhadap organ-organ pemerintah dianggap sebagai kepentingan mereka adalah urusan yang dipercayakan kepada mereka).
Pemerintah kota yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan rumah tangga mereka sendiri. Mereka memiliki kepentingan atas tindakan Pemerintah yang bertentangan dengan kepentingan Kota. Negara dan daerah biasanya lebih dilihat sebagai badan hukum publik karena didirikan berdasarkan atau dengan ketentuan atau tindakan hukum publik dan ditujukan untuk mengurus kepentingan rakyat. Namun perlu diingat bahwa keduanya adalah subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban terhadap harta kekayaan yang mereka miliki, karena itu mutatis mutandis juga sebagai badan hukum perdata. Perlu dibedakan bahwa kepala daerah yang mempersoalkan tindakan pemerintah bukan sebagai pejabat pemerintah, tetapi sebagai wakil daerah dalam membela kepentingan daerahnya. Dalam setiap Undang-undang Pemerintahan Daerah dan terakhir Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 25 huruf f ditentukan bahwa Kepala Daerah mewakili daerahnya di dalam dan diluar Pengadilan.
Peranan lembaga Pemerintah seperti ini juga telah diakui oleh peraturan perundang-undangan, bahwa untuk Pemerintah dapat mempertahankan kepentingannya atau mewakili kepentingan masyarakat. Ketentuannya terdapat dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Pasal 46 ayat (1) d Undang-Undang 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.




4. Hapusnya Kepentingan


Apabila apa yang dituju sudah dapat dipenuhi atau sudah bukan lagi ditangan penggugat maka kepentingan akan proses akan hilang. Apabila pejabat atau badan menarik kembali keputusan yang disengketakan sewaktu tengah berlangsung prosedur maka hilanglah kepentingan proses, karena apa yang dituntut oleh penggugat sudah terpenuhi.
Gugatan terhadap penolakan fiktif atas permohonan izin, kehilangan kepentingan proses apabila izin dikeluarkan sementara perkara berjalan. Penggugat yang keberatan dengan pembangunan atau renovasi rumah tetangganya setelah mendapat IMB dari yang berwenang membongkar sendiri bangunan yang dipersoalkan, seketika itu juga hilang pula kepentingan prosesnya. Namun perlu diperhatikan, apabila penggugat mempermasalahkan kerugian yang dideritanya karena kelambatan terbitnya izin dan perintah bongkar maka jangan terburu-buru menyatakan penggugat tidak berkepentingan.
Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan perintah pembongkaran oleh Pemerintah Kota atas suatu bangunan, kehilangan “kepentingan proses” apabila pembongkaran bangunan yang dimaksud telah selesai dilaksanakan. Demikian pula perkara penolakan atas permintaan untuk mengeluarkan keputusan penutupan pabrik kehilangan “kepentingan proses” apabila izin usaha industri dikeluarkan. Namun kepentingan untuk menguji keabsahan izin usaha industri masih tetap ada, meskipun terkait tatapi objeknya berbeda.


5. Pengaruh Penggantian Hak


Penggantian hak adalah tampilnya persoon sebagai pemegang hak, penyandang kewajiban atau rangkaian hak dan kewajiban. Bila terjadi peralihan hak atas titel yang umum misalnya karena pewarisan maka akan terjadi suatu peralihan yang kompleks, yaitu beralihnya hak dan kewajiban. Apabila terjadi peralihan hak berdasarkan titel yang khusus misalnya penyerahan atau pengalihan hutang maka yang beralih adalah hak atau kewajiban tertentu saja dan ikutannya. Apa pengaruh penggantian hak terhadap kepentingan menggugat?.
Punt mengemukakan kriteria bahwa kepentingan menggugat mengikuti peralihan hak apabila peralihan berdasarkan pada titel yang umum. Ahli waris dapat meneruskan prosedur yang sedang berjalan apabila yang dipersoalkan adalah bersumber kepada hak dan kewajiban dilapangan kebendaan yang dapat diwarisi. Hal-hal yang tidak dapat diwarisi tidak ikut beralih, misalnya izin-izin pribadi, hak gugat seseorang dalam kapasitas sebagai calon untuk menduduki suatu jabatan publik dan kepentingan yang didasarkan kepadanya. Dengan meninggalnya orang yang bersangkutan maka kepentingan proses juga menjadi hapus. (B.C.Punt; 1975 : 92 – 94).
Untuk peralihan hak berdasarkan pada titel yang khusus dapat juga dipertimbangkan untuk mengajukan gugatan atau melanjutkan suatu sengketa sepanjang yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang diterima oleh penerima hak. Sedangkan terhadap hak-hak yang tidak dapat diwariskan hak gugatnya menjadi hilang bersama meninggalnya yang bersangkutan. Hak gugat yang berasal dari status seseorang sebagai calon untuk menduduki jabatan publik tertentu, izin-izin pribadi tidak dapat diwariskan.


E. Kesimpulan


1. Kepentingan sebagai nilai yang mendapat perlindungan dari hukum pada awal pertumbuhannya adalah : (a) adanya larangan seseorang bertindak atas nama sendiri untuk kepentingan pihak lain tanpa adanya persetujuan pemberian kuasa dari orang yang bersangkutan; (b) subjek mempunyai kepentingan yang bersifat individual khusus; (c) adanya kepentingan langsung dari subjek itu sendiri, bukan diperolehnya dari pihak lain; (d) adanya kerugian secara ekonomi dan dilindungi atau diatur oleh ketentuan undang-undang atau konstitusi. Dalam perkembangannya terlihat adanya pendirian yang lebih longgar, yaitu (a) diterimanya seseorang bertindak untuk orang lain yang mempunyai hubungan atau dalam lingkungan yang sangat dekat; (b) diterima kepentingan kelompok dan kepentingan umum; (c) diterimanya kepentingan tidak langsung secara terbatas; (d) diakuinya kepentingan bersifat immaterial.
Diantara pendirian yang berlawanan yaitu tight standing dan actio popularis tersebut sesuai dengan budaya dan kebutuhan ada baiknya dipertimbangkan menempuh jalan tengah, yang condong kepada pendirian yang longgar namun tidak sampai kepada pendirian actio popularis.
Adanya keharusan adanya kepentingan proses adalah menghindarkan pejabat dari gangguan dan pengeluaran tenaga dan biaya yang tidak perlu, dengan tetap memperhatikan kepentingan pihak lawan perkara. Adanya “kepentingan hukum” masih perlu diperdebatkan.


2. Kepentingan apabila dihubungkan dengan suatu tindakan pemerintah pihak yang berkepentingan adalah : (a) pihak yang dialamatkan oleh keputusan atau tindakan, (b) pihak ketiga yang berkepentingan dapat individu dan kelompok masyarakat, (c) lembaga pemerintahan yang ditunjuk.


3. Peralihan hak atas titel yang umum menyebabkan peralihan yang kompleks, beralihnya hak dan kewajiban. Peralihan hak berdasarkan titel yang khusus yang beralih adalah hak atau kewajiban tertentu saja dan ikutannya. Bagi hak-hak yang bersifat pribadi yang tidak dapat diwariskan, dengan meninggalnya pewaris, maka kepentingan ikut hilang.
Tulisan pendek ini hanyalah sekedar bahan pengkajian lebih lanjut kriteria kepentingan untuk mengajukan gugatan pada badan peradilan administrasi. Dari proses interaksi diharapkan lahir temuan baru kriteria yang lebih baik dan pada akhirnya dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan peradilan administrasi yang baik di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Berge, J.B.J.M. ten & A.Q.C. Tak, Hoofdlijnen van het Nederlans adminitratief procesrecht, W.E.J. Tjeenk Willink – Zwolle, 1987.

Buuren, P.J.J. van, ringen van belanghebbenden, in het bijzonder in procedures tegen de overheid, Kliwer, Deventer, 1978.

Ernest Gollhorn, Administrative Law and Process in a Nutshel, West Publishing Co, 1972.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.

Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997.

Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co., Jakarta, 1989.

Punt, B.C., Ontvankelijkheid en omvang van het beroep tegen administratievebeschikkingen, Vuga, ‘s-Gravenhage, 1975.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988

Wijk, H.D., van, Hoofdstukken van administratief recht, Uitgeveru Lemma BV, Utrecht, 1995.

William F. Fox, Jr. Understanding Administrasive Law, Matthew Bander, Now York, 1992.